Mantra di Masyarakat
Sunda (jampi, asihan,
singlar, jangjawokan,
rajah, ajian, dan pelet)
Mantra sebagaimana
dikemukakan
Poerwadarminta (1988:
558) adalah:
1) perkataan atau ucapan
yang mendatangkan daya
gaib (misal dapat
menyembuhkan,
mendatangkan celaka, dan
sebagainya); 2) susunan
kata berunsur puisi
(seperti rima, irama) yang
dianggap mengandung
kekuatan gaib, biasanya
diucapkan oleh dukun
atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib
yang lain.
Sejalan dengan
pembagian jenis mantra,
Rusyana (1970) membagi
mantra berdasarkan
tujuannya menjadi 7
bagian, yaitu jampe
‘jampi’, asihan ‘pekasih’,
singlar ‘pengusir’,
jangjawokan ‘jampi’, rajah
‘kata-kata pembuka
‘jampi’, ajian ‘ajian/jampi
ajian kekuatan’, dan pelet
‘guna-guna’. Diketahui
bahwa ketujuh bagian
tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam
mantra putih ‘white
magic’ dan mantra hitam
‘black magic’. Pembagian
tersebut berdasarkan
kepada tujuan mantra itu
sendiri, yakni mantra
putih digunakan untuk
kebaikan sedangkan
mantra hitam digunakan
untuk kejahatan.
Adanya pembagian antara
mantra putih (white
magic) dan mantra hitam
(black magic) sebenarnya
sulit untuk diukur dalam
pengertian tidak ada
pembeda secara nyata di
antara keduanya, karena
sering terjadi
penyimpangan tujuan dari
mantra putih ke mantra
hitam tergantung kepada
siapa dan bagaimana
akibat yang ditimbulkan
oleh magic tersebut.
Dapat dicermati bahwa
mantra putih di antaranya
bertujuan untuk
menguasai jiwa orang
lain, agar diri dalam
keunggulan, agar
disayang, agar maksud
berhasil dengan baik, agar
perkasa dan awet muda,
berani, agar selamat,
untuk menjaga harta
benda, mengusir hantu
atau roh halus,
menaklukan binatang,
menolak santet, untuk
menyembuhkan orang
sakit. Adapun kategori
mantra hitam diantaranya
bertujuan untuk
mencelakai orang agar
sakit atau mati, membalas
perbuatan jahil orang lain,
dan memperdayakan
orang lain karena sakit
hati.
Kehadiran mantra putih
maupun mantra hitam itu
sendiri berpangkal pada
kepercayaan masyarakat
pendukung di dalamnya
yang memunculkan
fenomena yang semakin
kompleks di jaman
sekarang. Sejumlah
penilaian, sikap, dan
perlakuan masyarakat
Sunda terhadap mantra
semakin berkembang.
Ada sebagian masyarakat
yang begitu mengikatkan
secara penuh maupun
sebagian dirinya terhadap
mantra dalam
kepentingan hidupnya.
Sebagian masyarakat
lainnya secara langsung
atau tidak langsung
menolak kehadiran
mantra dengan
pertimbangan bahwa
menerima mantra berarti
melakukan perbuatan
syirik. Pada bagian
masyarakat yang
disebutkan pertama dapat
digolongkan ke dalam
masyarakat penghayat
atau pendukung mantra,
sedangkan bagian
masyarakat yang lainnya
digolongkan ke dalam
masyarakat bukan
penghayat mantra.
Bagi masyarakat
penghayat mantra,
kegiatan sehari-hari kerap
kali diwarnai dengan
pembacaan mantra demi
keberhasilan dalam
mencapai maksud.
Misalnya, para petani ingin
sawahnya subur,
terhindar dari gangguan
hama, ingin panen
hasilnya melimpah; para
pedagang ingin
dagangannya laris. Mantra
diterima oleh masyarakat
penghayatnya sebagai
kebutuhan penunjang
setelah kehidupan
agamanya dijalani secara
sungguh-sungguh.
Adanya kebutuhan
terhadap mantra sebagai
warna yang menghiasi
kehidupan sehari-hari.
Kegiatan yang tidak
terlepas kepada keadaan
alam dan mata
pencaharian,
menghasilkan tiga
kelompok besar
sehubungan dengan
penggunaan mantra, yaitu
mantra yang digunakan
untuk perlindungan,
kekuatan, dan
pengobatan.
Salah satu contoh mantra
perlindungan dapat
disimak berikut ini.
Rarakan Nyi Pohaci
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.
Secara simbolik, benda-
benda yang disebutkan
merupakan perwakilan
dari hakekat manusia
yang senantiasa harus
menjalani hidup dengan
dibekali iman yang kuat.
Fungsi lain yang
menyiratkan adanya
permohonan kepada Sang
Pencipta, tampak pada
sejumlah mantra
kekuatan, begitu erat
dengan kebutuhan hidup
masyarakat yang dalam
satu segi membutuhkan
kekuatan lahir maupun
batin untuk melaksanakan
maksud tertentu. Semua
mantra tersebut
sepenuhnya disandarkan
kepada Allah. Mereka
tinggal menunggu
keputusan dari Yang Maha
Menentukan atas usaha
yang dijalankan manusia.
Betapa manusia merasa
kecil dan tak berdaya
sehingga memohon
dilindungi, ditopang, diberi
kemurahan pada setiap
langkah, mohon
ditetapkan iman dan
Islam. Begitu juga dengan
mantra kekuatan lainnya,
dengan berbekal
keyakinan dan bersandar
sepenuhnya kepada Allah,
mantra diucapkan untuk
tujuan keunggulan, agar
disayangi, agar segala
perbuatan menghasilkan
sesuatu yang diharapkan,
agar perkasa, awet muda,
untuk menaklukan
siluman, dan lain-lain.
Salah satu contoh mantra
kekuatan yang termasuk
ke dalam
pelet ‘guna-guna’ dapat
dilihat dalam contoh
berikut ini. Pelet
Bismillah
Kum awewe
Wataji kulhu absar
Wahuwa Latiful Khabil
Sabulan sang ratu nu
colalang
Sabulan mangrupi
Dua putri mananjo
Tujuh bulan kolot
Salapan bulan sang
goledah
Gereleng putih
Jig ka cai ngadon ceurik
Jig ka darat ngadon
midangdam
Jig ka imah asa jobong
koong
Kop cai asa tuak bari
Kop dahar asa tatal bobo
Kaula nyaho ngaran sia …
si…….
Asihan
Samping aing kebet lereng
ditilik ti gigir lenggik
diteuteup ti hareup sieup
mikaeunteup mikasieup
mangka eunteup mangka
sieup
ka awaking
awaking ratu asihan
ti luhur kuwung-
kuwungan
ti handap teja mentrangan
ditilik ti tukang lenggik
di tilik ti gigir sieup
mangka eunteup mangka
sieup
asih …asih… asih….
asih ka badan awaking.
Pembagian mantra
lainnya, yaitu mantra
pengobatan. Mantra
pengobatan dipakai untuk
mengobati si sakit. Melalui
warisan nenek moyang,
pemanfaatan alam pun
tampak, yaitu
digunakannya daun-
daunan untuk mengobati
perut kembung, tampak
dalam jampe beunghak
beuteung ‘jampi perut
kembung’. Jampi tersebut
harus disertai dengan
menggosokkan daun
eurih ke perut si sakit.
Salah satu contoh mantra
pengobatan dapat disimak
berikut ini.
Sebagaimana
dikemukakan
sebelumnya, bahwa
mantra terdiri atas mantra
putih dan mantra hitam.
Mantra hitam (black
magic) yang lebih dikenal
secara umum oleh
masyarakat Jawa barat
sebagai teluh pada
kenyataannya di lapangan
diperoleh dalam jumlah
yang sangat sedikit, itu
pun ada yang berasal dari
mantra putih (white
magic). Hal ini dapat
dipahami karena fungsi
utama mantra, yaitu yang
terkandung dalam mantra
putih lebih mendominasi
kehadirannya. Mantra
hitam (black magic) tidak
mendapat tempat di
masyarakat. Ini terbukti
dari hasil inventarisasi
yang hanya ditemukan
kurang lebih 10 buah
mantra hitam (black
magic).
Mantra hitam (black
magic) yang dimaksudkan
adalah mantra
pendendam dan mantra
perdayaan.
Mantra
pendendam adalah
mantra pembalasan atas
perbuatan jahat orang
yang mengirimkan
mantra untuk mencelakai
si pembalas.
Mantra ini diklasifikasikan
sebagai mantra hitam
karena ada motif
mendendam dan ingin
mencelakai orang yang
mencoba mencelakainya.
Simak teks yang
dimaksud di bawah ini:
Panolak Teluh
Siriwi kula siratin
Mina haji kurawul kabuli
badan
Papag papupang-pulang
Cunduk nyungcung
datang rahayu
Anu runtuh sira nu
gempur
Nu ngadek sira nu paeh
Nu nyimbeuh sira nu
baseuh
Nu nyundut sira nu
tutung
Nya aing Ceda Wisesa
Panca buana di buana
panca tengah
Tiis ti peuting ngeunah ti
beurang
Ngeunah ku Allah Taala
Ya Allah hurip waras (3 X)
Adapun dalam mantra
hitam yang benar-benar
dilatarbelakangi oleh
hasrat ingin mencelakai
orang lain tampak dalam
mantra di bawah ini:
Paneluh Galunggung
Ratu teluh ti Galunggung
Sang Ratu cedacawal
Ratu teluh ti Gunung
Agung
Sang Ratu murba Sakama
Sang Ratu Talaga Bodas
Nu kumawasa pusering
talaga
Sang Ratu Cedacawal
Nya aing Sang Ratu
Cedacawal
Pur geni pur braja
Seuseup getihna
Cokcrok ototna
Sebit atina
Bedol tikorona
Sayab nyawana
Tuh Singsieunan si …………
Mantra tidak mendapat
tempat di sebagian
masyarakat karena
muatan teks dan perilaku
magis lainnya yang
menurutnya bertentangan
dengan akidah Islam.
Antipati mereka terhadap
perilaku magis ini masih
dalam batas kewajaran.
Mereka satu sama lainnya
(dengan masyarakat
penghayat mantra putih)
masih dapat menjalin
hubungan dan
memfungsikan dirinya
sebagai anggota
masyarakat yang baik,
tetapi tidak ada toleransi
untuk penghayat mantra
hitam (black magic).
HOME MENU